Kumpulan Tesis Hukum lengkap, untuk dijadikan bahan dan contoh dalam pembuatan Tesis

Tesis Hukum Sistem Pidana

Contoh Tesis Hukum No.51: Pidana Pengawasan  Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia

Pidana Pengawasan  Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, di samping mencerminkan kehendak rakyat Indonesia untuk   menentukan sendiri masa depan bangsanya, juga mengandung tekad untuk melakukan pembaharuan dan pembenahan di segala bidang kehidupan yang sebelumnya terbengkalai, guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia dengan diraihnya kemerdekaan tersebut.
Cita-cita dan tujuan yang ingin diwujudkan dari kemerdekaan ini dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu:
    a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
    b. memajukan kesejahteraan umum,
    c. mencerdaskan kehidupan bangsa,
    d. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila.1

Secara umum keempat tujuan di atas bermakna bahwa negara berupaya untuk memberikan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan umum tersebut harus senantiasa dijadikan landasan berpijak dalam menentukan kebijakan di segala bidang, termasuk pula kebijakan memiliki hukum nasional guna menggantikan hukum kolonial yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman melalui upaya pembaharuan hukum. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa:

“Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan juga dalam Pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”. Inilah garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum di Indonesia. Ini pulalah yang menjadi landasan dan 1 UUD 1945 setelah Amandemen kedua tahun 2000, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 14.
tujuan dari setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia”.2 
Lebih lanjut dikatakan oleh Barda Nawawi Arief  bahwa:
“Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social-defence policy).3

Dari hal tersebut di atas, terkandung tekad dari bangsa Indonesia untuk
mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana
yang dicita-citakan.4

Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Hal demikian penting, karena hukum pidana merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah.5
Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limit of The Criminal Sanction” juga menyatakan :
“The three basics problems of substance (as opposed to procedure) in criminal law :
1    What conduct should be designated as criminal,
2    What determination must be made before a person can be ound to have commited a criminal offense,
3    What should be done with person who are found to have commited criminal offenses.” 6

Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari sudut dogmatis normatif,
permasalahan pokok dari hukum pidana adalah :
1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau biasa disingkat dengan masalah “tindak pidana”.
2
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT.Citra Adtya Bhakti, Bandung, 2001,  hal. 73.
3
Ibid.
4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 29.
5 A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, tanpa tahun, hal iii.
6 Herbert L. Packer, The Limit of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 17.
1    Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan /mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan”.
2    Sanksi (pidana)apa yang yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah “pidana”.7

Berkaitan dengan sanksi pidana, maka jenis pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara merupakan jenis pidana yang kerap dikenakan terhadap pelaku tindak pidana oleh hakim. Dalam perjalanannya, sehubungan dengan perkembangan tujuan pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, akan tetapi sudah mengarah pada upaya-upaya perbaikan ke arah yang lebih manusiawi, maka pidana penjara banyak menimbulkan kritikan dari banyak pihak terutama masalah efektivitas dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan dengan penerapan pidana penjara tersebut. 
Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pidana penjara saat ini sedang mengalami “masa krisis” karena termasuk salah satu jenis pidana yang “kurang disukai”, sehingga banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.8
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengatakan :
“Sorotan dan kritik-kritik tajam terhadap pidana penjara itu tidak hanya dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan, bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.” 9
Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari peradaban masyarakat
dunia, dengan memperhatikan dinamika yang terjadi, tentunya diharapkan dapat
senantiasa mengikuti dan mengadopsi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi
kepentingan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh
masyarakatnya dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi adanya perkembangan
pemikiran tentang cara yang lebih tepat dan manusiawi dalam memperlakukan para
 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 111.
8 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit.,  hal. 207.
9 Ibid, hal 206.
pelaku kejahatan yang antara lain dilakukan dengan upaya menyediakan alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan / pidana penjara.

Berkaitan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan : “Masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non-institusional . . . . .”.10

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mencari alternatif jenis pidana perampasan kemerdekaan dalam rangka mengeliminir dampak negatif yang ditimbulkan oleh pidana perampasan kemerdekaan tersebut sangatlah penting artinya. Dalam KUHP di Indonesia yang berlaku sekarang, sebetulnya sudah ada sarana alternatif pidana penjara yang bersifat non-custodial yaitu dengan adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a-f. Dalam ketentuan Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap pelaku tindak pidana/terdakwa telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi proses stigmatisasi terhadap pelaku tindak pidana melalui keputusan hakim yang disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, pidana bersyarat sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang masih kurang memberikan perlindungan terhadap individu / pelaku tindak pidana. Di samping itu, dalam KUHP yang berlaku sekarang, pidana bersyarat ini bukan merupakan suatu pidana pokok dan hanya merupakan cara penerapan pidana, sehingga hal ini tidak memberikan dasar yang mantap bagi hakim dalam
10 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hal. 5.
menerapkannya. Hal tersebut seperti dikatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa ketentuan yang mengatur tentang pidana bersyarat selama ini kurang dapat mengatasi sifat kaku dari sistem perumusan pidana penjara secara imperatif, karena pidana bersyarat hanya merupakan cara menjalankan pidana (strafmodus) dan tidak mengenai pemilihan jenis pidana (strafsoort)”.11
Dengan demikian, pengaturan tentang pidana bersyarat dalam KUHP yang berlaku sekarang belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara waktu pendek.

Salah satu bentuk alternatif pidana perampasan kemerdekaan (alternatives to imprisonment) yang lain ialah dengan diadakannya jenis sanksi yang dikenal dengan istilah probation and judicial supervision (The Tokyo Rules-Rule 8.2 huruf h). Hal ini juga sesuai dengan Konggres PBB ketiga di Stockhlom pada tahun 1965 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana, yang juga memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana pengawasan (probation) untuk orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang bersifat non-institusional.12

Menurut Muladi, istilah probation/pidana pengawasan dalam pengertian modern mempunyai arti sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan.13
Di samping itu, pidana pengawasan selain dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, juga mengurangi banyak kerugian yang ditimbulkan oleh pidana pencabutan kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal yang akan menambah kesulitan narapidana dalam penyesuaian diri kepada masayarakat serta keluarganya dan seringkali meningkatkan kemungkianan timbulnya residivisme.

Apakah Anda memerlukan Tesis Hukum Sistem Pidana ini lengkap dari Bab 1 sampai akhir untuk dijadikan contoh pembuatan Tesis Hukum Anda?

Jika iya, kami akan mengirimkan seluruh filenya yang berformat Ms.Word yang bisa Anda copy paste melalui email Anda. Silakan hubungi kami, dan jangan lupa untuk membaca halaman cara pemesanan di menu atas.

Tesis Hukum Magister S2

Empat Alasan kenapa Anda harus pesan Tesis Hukum ini:

  1. Anda tidak perlu mem-photo copy dari perpustakaan
  2. File dalam bentuk Ms. Word bisa langsung Anda copy paste
  3. Lebih hemat dari pada mem-photo copy
  4. Langsung dikirim ke email Anda atau bisa dalam bentuk CD
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tesis Hukum Sistem Pidana