Kumpulan Tesis Hukum lengkap, untuk dijadikan bahan dan contoh dalam pembuatan Tesis

Tesis Hukum Islam Tentang Copyleft

Contoh Tesis Hukum No.20: Copyleft Dalam Perspektif Hukum Islam Sebagai Alternatif Solusi Perbedaan Pandangan Tentang Hak Cipta Dalam Masyarakat Islam Indonesia

Tesis Hukum Islam Tentang Copyleft
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Istilah hak cipta (copyright) sebagai bagian dari rezim Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual property Right) mulai dipergunakan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke-II yang diselenggarakan di Bandung bulan Oktober 1951.1 Sebelumnya istilah yang dipergunakan adalah hak pengarang, sebagai terjemahan dari istilah Belanda autheurs recht. Pemerintah Indonesia menerima ketentuan hak cipta dengan membentuk peraturan perundang-undangan tentang hak cipta dan melakukan perbaikan-perbaikan dengan cara meratifikasi konvensi-konvensi internasional. Undang-Undang hak cipta Indonesia yang terbaru adalah UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 

Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2002, menentukan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan hak cipta sebagai hak eksklusif bagi pencipta tersebut, mengadopsi ketentuan
1 Ramdlon Naning, Perihal Hak Cipta Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 1.
Universal Copyright Convention Pasal V yang menyebutkan bahwa hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan, dan memberi kuasa untuk menerbitkan dan membuat terjemahan daripada karya yang dilindungi perjanjian ini.2

Tujuan dibentuknya ketentuan yang mengatur tentang hak cipta adalah memberikan perlindungan terhadap ciptaan untuk mendorong aktivitas dan kreativitas para pencipta. Ketentuan perlindungan terhadap hak cipta tidak memungkinkan pihak lain untuk dapat mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan tanpa izin dari pencipta. Hal ini berarti bahwa perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan tanpa izin pencipta adalah perbuatan melawan hukum. Adanya perlindungan terhadap hak cipta menjadi angin segar bagi para pencipta, sehingga dapat memberikan motivasi bagi mereka untuk berkarya.

Hak Cipta terdiri atas hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.3 Hak moral dalam hak cipta berupa hak bagi pencipta untuk dicantumkan namanya pada hasil karya ciptanya dan hak untuk dijamin keutuhan karya ciptanya. Sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat
2OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 219.
3 Penjelasan umum UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 
ekonomi atas Ciptaan serta produk hak terkait (neighbouring right). Konsekuensi dari hak ekonomi adalah adanya larangan bagi pihak lain dalam bidang produksi/penggandaan dan penjualan produknya tanpa ijin dari pencipta. Adanya hak ekonomi tersebut mengakibatkan tindakan monopoli oleh pemegang hak cipta. Tindakan monopoli inilah yang dalam perkembangannya mendapat banyak tentangan dari masyarakat di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, karena berimbas pada tingginya harga produk. 

Hal-hal yang mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat AS sebagai akibat rezim Intellectual Property Right antara lain: semakin mahalnya biaya kesehatan, bertambah banyaknya problem-problem kesehatan, bertambahnya kebodohan, meningkatnya jurang perbedaan upah, bertambahnya rasa apatis terhadap proses demokrasi, bertambahnya kekuasaan pemerintah, di bagian dunia lain semakin bertambahnya berbagai macam penyakit, meningkatnya terorisme, semakin bertambahnya keputusasaan negara dunia ketiga, bertambahnya kebodohan.4

Rezim HKI dibangun di atas kultur individual, sedangkan kultur asli masyarakat Indonesia adalah komunal. Kultur komunal telah dipertahankan sejak zaman nenek moyang, yang selanjutnya dikuatkan dengan ajaran agama, terutama agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Kultur komunal yang telah mengakar menjadi filter bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi kultur asing. Kultur komunal Indonesia bukanlah paham sosialis yang tidak mengakui hak individu, karena kultur komunal Indonesia yang berdasarkan Pancasila
Budi Santoso,” Trend Pandangan Terhadap Hak Cipta”, Majalah Masalah Hukum (MMH) Vol.34 No. 2 April-Juni 2006, hal. 135).  
dan UUD Tahun 1945 mengakui eksistensi individu dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
 Pancasila mengakui eksisitensi individu ditunjukkan dengan sila kedua: “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Wujud dari nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” antara lain menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara individu dan masyarakat (monodualisme); pengakuan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang sederajat.5 Pasal-pasal dalam UUD Tahun 1945 yang menjamin dilindunginya Hak Asasi Manusia (HAM), antara lain Pasal 27 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Sila dan pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa hak individu dalam wujud HAM masih diakui dengan batas-batas tertentu yaitu oleh kepentingan umum (masyarakat).
Kepentingan umum menurut tradisi Indonesia selalu diupayakan untuk mendapatkan prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan individu. Umum yang dimaksud adalah sebagian besar masyarakat. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat, yakni suatu komunitas yang di dalamnya berisi individu-individu. Artinya, kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar individu-individu yang tergabung dalam suatu komunitas tertentu. Oleh sebab itu, bagi kultur Indonesia kepentingan individu tidak diagung-agungkan melebihi kepentingan umum.
5 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 241. 
Menurut Satjipto Rahardjo: HKI termasuk hak cipta adalah suatu institusi yang muncul dari dalam suatu komunitas yang sangat sadar akan hak-hak dan kemerdekaan individu, bukan dari dalam suatu komunitas yang lebih berbasis kolektivitas. Ciptaan dan karya besar bangsa Indonesia di masa lalu hampir semua bersifat anonim, seperti candi, wayang, gending, dan sebagainya. Filsafat dibalik fakta tersebut adalah bahwa nilai suatu karya lebih penting daripada siapa pembuatnya. Oleh karena itu, di Indonesia masih terasa suasana mitos-transendental-kolektif. 6 Namun selanjutnya Satjipto Rahadjo menjelaskan bahwa kita
sekarang tidak hidup dalam masa lalu dengan sekalian kelengkapan filsafat, tradisi dan nilai-nilai yang kita miliki, tetapi hidup dalam suatu dunia dan lingkungan baru yang disodorkan kepada kita. Dengan demikian Indonesia tetap harus menghadapi rezim HKI, dan menyusun strategi dalam penerapan prinsip HKI di Indonesia, termasuk prinsip hak cipta, agar dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Ketentuan hak cipta internasional yang telah diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan hak cipta Indonesia tidak seluruhnya selaras dengan filsafat, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Pemberian hak khusus terhadap pemegang hak cipta dengan tanpa menghiraukan fungsi sosial bertentangan dengan kultur komunal dan prinsip monodualis Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan terjadi banyak pelanggaran terhadap undang-undang hak cipta, terutama pada saat
Satjipto Rahardjo, “Aspek Sosio-Kultural dalam Pemajuan HKI”, makalah disajikan dalam Seminar Nasional Penegakan Hukum HKI dalam Kontek Perlindungan Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah, Semarang, 25 Nopember 2000, hal 1-2. Lihat juga karya ilmiah Dr. Budi Santoso, “Trend Pandangan Terhadap Hak Cipta”, dimuat dalam Majalah Masalah Hukum (MMH), Vol.34, No. 2, April-Juni 2006, hal. 136).
masih berlakunya Auteurswet 1912.7 Pemerintah Indonesia saat itu tidak tertarik untuk memberlakukan UU Hak Ciptanya sendiri. Indonesia juga menarik diri dari keikutsertaannya di Konvensi Bern pada tahun 1958,8 dengan alasan Indonesia masih perlu memperbanyak karya-karya asing demi peningkatan standar pendidikan. Sikap Indonesia tersebut sangat ditentang oleh Amerika Serikat (AS).
Penentangan AS terhadap sikap Indonesia berlanjut pada penentangan UU Hak Cipta nasional yang disahkan pada tahun 1982. AS mencoba meyakinkan Indonesia dalam berbagai perundingan dagang agar merevisi UU Hak Cipta tahun 1982. Permintaan tersebut tidak dihiraukan oleh Indonesia, karena pemerintah beranggapan bahwa perubahan yang diminta tidak akan memberi keuntungan apapun bagi masyarakat Indonesia. Desakan AS baru dianggap penting setelah harga minyak dunia “anjlok”, dan pemerintah Indonesia memerlukan sumber baru bagi dana investasi dan valuta asing. Pemerintah Indonesia menanggapi desakan tersebut dengan perubahan Undang-Undang Hak Cipta pada tahun 1987, dengan memperpanjang masa berlaku

Apakah Anda memerlukan Tesis Hukum Islam Tentang Copyleft ini lengkap dari Bab 1 sampai akhir untuk dijadikan contoh pembuatan Tesis Hukum Anda?

Jika iya, kami akan mengirimkan seluruh filenya yang berformat Ms.Word yang bisa Anda copy paste melalui email Anda. Silakan hubungi kami, dan jangan lupa untuk membaca halaman cara pemesanan di menu atas.

Tesis Hukum Magister S2

Empat Alasan kenapa Anda harus pesan Tesis Hukum ini:

  1. Anda tidak perlu mem-photo copy dari perpustakaan
  2. File dalam bentuk Ms. Word bisa langsung Anda copy paste
  3. Lebih hemat dari pada mem-photo copy
  4. Langsung dikirim ke email Anda atau bisa dalam bentuk CD
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tesis Hukum Islam Tentang Copyleft