Kumpulan Tesis Hukum lengkap, untuk dijadikan bahan dan contoh dalam pembuatan Tesis

Tesis Hukum Illegal Logging

Contoh Tesis Hukum No.2 :
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana  Illegal Logging

Tesis Hukum Illegal Logging
BAB I
P E N D A H U L U A N

A. LATAR BELAKANG Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah kemerdekaan Negara Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Pernyataan kemerdekaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang¬undang Dasar (UUD) 1945 alenia ke-3 yang berbunyi : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya “. Penyataan ini mengandung amanat dan bermakna bahwa bangsa Indonesia dalam melaksanakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat adalah bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka. Hal tersebut diatas tidak terlepas dari tujuan politik hukum di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 terdapat cita – cita Negara Indonesia ,yaitu  :
1    Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2    Untuk memajukan kesejahteraan umum,
3    Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4    Ikut memelihara ketertiban dunia.

Berlandaskan hal ini, maka Negara Indonesia membentuk pemerintahan dengan menyelenggarakan pembangunan, pembangunanan pada dasarnya merupakan perubahan positif. Perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai tujuan kearah kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Dengan kata lain hakiki pembangunan merupakan suatu proses perubahan terus menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan. 


Hakekat pembangunan Nasional adalah pembangunan bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 


Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi, dan meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya. 


Dalam rangka membangun kerangka dasar hukum nasional, maka perlu dipahami dan dihayati agar setiap membentuk hukum dan perundang-undangan selalu berlandaskan moral, jiwa dan hakikat yang terdapat dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta harus pula disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman, khususnya sejalan dengan tuntutan reformasi dibidang hukum. Oleh karena itu hukum harus mampu mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.


Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya
menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai¬
nilai yang ada. Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan  :
“ Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia.”

Baca juga : Tesis Hukum Bisnis Syariah Akad BMT
Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman Sarikat Putra mengatakan3, bahwa proses penegakan hukum itu menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum/undang-undang. Perumusan pikiran pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu nanti dijalankan. 

1 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal. 189 2 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 283 Nyoman, Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2005. hal 23 


Hukum pidana materiel, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana materiel) terletak pada masalah mengenai yang saling berkait, yaitu 4 :
1    perbuatan apa yang sepatutnya dipidana ;
2    syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/ mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan 
3    sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut ;

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung kebijakan Negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak hukum dalam menjalankan tugasnya memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan yang telah ditetapkan. 


Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni :
     a.    tahap kebijakan legislatif/formulatif ;
     b.    tahap kebijakan yudikatif/aplikatif dan
     c.    tahap kebijakan eksekutif/administratif

Berdasar tiga uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan 


4 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 136 


perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang, kekuasaan yudikatif/aplikatif  merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan kekuasaan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.


Berdasarkan tiga tahapan kebijakan penegakan hukum tersebut diatas penanggulangan kejahatan selalu diorientasikan pada upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief5 bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). 


Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting 


5 Barda Nawawi, Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet ke 2, hal 73
tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup.6
Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu system
penyangga kehidupan harus dijaga kelestariaannya. sebagaimana landasan
konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi :
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” 


Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga
akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut
memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. 


Seiring dengan semangat reformasi kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu dihutan menjadi semakin marak apabila hal ini dibiarkan berlangsung secara terus menerus kerusakan hutan Indonesia akan berdampak pada terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi pendapatan Negara pemerintah Indonesia mengalami kerugian yang dihitung dari pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara. 


6 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi penyelesaian sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal 6 


Sebagaimana laporan World Resource (2005) yang dimuat dalam Koran Harian Kompas7 melaporkan, dalam kurun waktu 20 tahun kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 43 juta hektar atau setara dengan seluruh luas gabungan Negara Jerman dan Belanda.  Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagaimana telah dimuat dalam Mingguan Detik telah berkomitmen untuk memerangi illegal logging.


Aktifitas illegal logging saat ini berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pencurian kayu, modus yang biasanya dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya, mereka yang berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan dan pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, polisi, TNI). 


Berdasarkan hasil penelitian FKKPM9 modus yang digunakan dalam praktek illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan adakalanya illegal logging dilakukan melalui kerjasama antara perusahaan pemegang izin HPH dengan para cukong. Seringkali pemegang izin 


7 Koran Harian Kompas, 30 Oktober 2006, hal 5 8 Tabloid Mingguan Detik, 20 Oktober 2006, hal 7 9 Cecep Aminudin , Penegakan Hukum Illegal Logging Permasalahan dan Solusi, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penegakan Hukum Lingkungan di Mataram tahun 2003 meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan tersebut. 


Dalam hasil temuan lain modus yang biasa dilakukan dalam illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta memanipulasi isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek illegal logging. 


Illegal loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan dengan para cukong bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan.  


Untuk mengatasi maraknya tindak pidana illegal Logging  jajaran aparat penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik PPns yang lingkup tugasnya bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan Undang-undang No. 41 tahun 1999 diubah dengan Undang¬undang No 19 tahun 2004 kedua undang-undang tersebut tentang Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk menanggulanggi tindak pidana illegal logging, meskipun secara limitatif undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging. 


Yang dimaksud dengan illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2001,10 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah. 


Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo11, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. 


Didaerah-daerah pinggiran kawasan hutan Bojonegoro, Purwodadi maupun Blora banyak ditemui kasus dimana orang/warga masyarakat karena alasan ekonomi melakukan penebangan satu buah pohon kayu dihutan dengan tanpa ijin, ditangkap, ditahan dan didakwa telah melakukan tindak pidana illegal logging sebagaimana ketentuan pasal 50 dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 


Sebelum berlakunya undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan 

 
10 Inpres No. 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung Puting, oleh pemerintah dikeluarkan pada tahun 2001 untuk menanggulanggi secara cepat kasus illegal logging berupa penebagangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting (daerah tertentu). 11 Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta 2003 

tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasaldalam KUHP, namun setelah berlakunya UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang tersebut dikenakan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 50 jo pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan apabila dikenai pasal-pasal dalam KUHP. 


Ketentuan penjelasan pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama. 


Adanya berbagai kasus didaerah dimana seseorang  karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil dan membawa sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang  dikenakan tindak pidana illegal logging bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan  penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukup adilkah mereka yang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi/perut diancam dengan hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar¬besarnya. 


 Dalam mengantisipasi upaya penanggulangan tindak pidana Illegal Logging ini menjadi sangat penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan legislatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana illegal Logging, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan illegal logging dan sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan legislatif tersebut oleh badan yudikatif. 


Dari berbagai uraian diatas maka penulis berkeinginan untuk meneliti lebih dalam tentang hal tersebut dan penulis sajikan dalam bentuk uraian ilmiah (tesis) dengan judul : “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA  ILLEGAL LOGGING”.
 


Apakah Anda memerlukan Tesis Hukum Illegal Logging ini lengkap dari Bab 1 sampai akhir untuk dijadikan contoh pembuatan Tesis Hukum Anda?

Jika iya, kami akan mengirimkan seluruh filenya yang berformat Ms.Word yang bisa Anda copy paste melalui email Anda. Silakan hubungi kami, dan jangan lupa untuk membaca halaman cara pemesanan di menu atas.

Tesis Hukum Magister S2

Empat Alasan kenapa Anda harus pesan Tesis Hukum ini:

  1. Anda tidak perlu mem-photo copy dari perpustakaan
  2. File dalam bentuk Ms. Word bisa langsung Anda copy paste
  3. Lebih hemat dari pada mem-photo copy
  4. Langsung dikirim ke email Anda atau bisa dalam bentuk CD
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tesis Hukum Illegal Logging