Kumpulan Tesis Hukum lengkap, untuk dijadikan bahan dan contoh dalam pembuatan Tesis

Tesis Hukum Pailit Asuransi

Contoh Tesis Hukum No.36: Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit Terhadap Perusahaan Asuransi


BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi baik orang perorangan yang menjalankan perusahaan atau bukan badan usaha baik yang mempunyai kedudukan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Kegiatan ekonomi pada hakekatnya adalah kegiatan menjalankan perusahaan yaitu, suatu kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan yang dimaksud harus dilakukan :
    Secara terus menerus dalam pengertian tidak terputus putus;
    Secara terang terangan dalam pengertian yang sah (bukan ilegal);
    Dan kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan baik untuk diri sendiri atau orang lain.1

Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar perusahaan, antar negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi setiap saat di berbagai tempat. Peranan tersebut baik dalam hal mengumpulkan dana dari masyarakat maupun menyalurkan dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan perekonomian yang ada.2 Mengingat dengan semakin tinggi frekuensi kegiatan ekonomi yang terjadi pada
1 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, CV Mandarmaju, Bandung, 2000.hal.4.
2 Mustafa Siregar, Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya, dengan Penelitian di Wilayah Kodya Medan, Disertasi, 1990, hal. 1
masyarakat tentunya semakin banyak pula kebutuhan akan dana sebagai salah satu faktor pendorong dalam menggerakkan roda perekonomian. Seiring pesatnya perkembangan ekonomi dunia telah berdampak pada meningkatnya transaksi perdagangan antar pelaku usaha, dimana satu pelaku usaha melakukan usaha atau investasi di beberapa negara3 berdasarkan hukum negara setempat.4
Tata pergaulan masyarakat khususnya masyarakat modern seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau lembaga yang bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarkat baik risiko individual maupun risiko kelompok. Masyarakat modern sampai saat ini, mempunyai kandungan risiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau karena kemajuan teknologi di segala bidang. Kemajuan teknologi yang sudah sedemikian rupa mempengaruhi kehidupan manusia, dapat menimbulkan risiko yang semakin luas.

Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi. Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang sangat luas, karena Perusahaan Asuransi tersebut mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan¬kepentingan sosial. Disamping itu ia juga dapat menjangkau baik kepentingan¬
3 Hikmahanto Juwana (a). “Transaksi Bisnis Internasional Dalam Kaitannya dengan Pengadilan Niaga” dalam Majalah Hukum dan Pembangunan ed. Juli-September 2001, no. 3 tahun XXXI, hal. 244
4 Hikmahanto Juwana (b), “Relevansi Hukum Kepailitan Dalam Transaksi Bisnis Int’l”, jurnal hukum bisnis, Vol. 17 tahun 2002, hal. 56
kepentingan individu-individu maupun kepentingan-kepentingan masyarakat luas, baik risiko individu maupun risiko-risiko kolektif.5
Asuransi atau pertanggungan, di dalamnya selalu mengandung pengertian adanya suatu risiko. Risiko termaksud terjadinya adalah belum pasti karena masih tergantung pada suatu peristiwa yang belum pasti pula. Hal ini, dalam praktek juga secara tegas diakui, antara lain dalam naskahnya Dewan Asuransi Indonesia dalam kertas kerjanya dalam simposium Hukum Asuransi sebagai berikut:

Asuransi atau pertanggungan (Verzekering), di dalamnya tersirat pengertian adanya suatu risiko, yang terjadi belum dapat dipastikan, dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban risiko tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini, ia diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan tanggung jawab.6

Krisis moneter yang melanda hampir di seluruh belahan dunia pada pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun hidupnya menderita.7

5 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.5-6.
6 Ibid.hal.12. Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.1. 

Akibat dari krisis moneter yang tidak kunjung selesai mengakibatkan menurunnya kemampuan dunia usaha dalam melaksanakan, melanjutkan dan mengembangkan usahanaya mengakibatkan bertambah pula berbagai macam risiko yang tejadi yang harus ditampung oleh Perusahaan Asuransi yang ada.
Dalam hal ini banyak perusahaan yang menutup kegiatan usahanya karena tidak dapat melaksanakan kewajiban terhadap Kreditornya.8 Penyelesaian masalah utang piutang ini oleh pemerintah dan International Monetary Fund (IMF) diberikan kemudahan melalui proses kepailitan. Oleh karena itu sejak krisis moneter, jumlah permohonan memailitkan perusahaan meningkat tajam dibandingkan dengan sebelumnya9. Permohonan pemailitan ini tidak hanya terjadi pada perusahaan yang bergerak di bidang perbankan dan perusahaan efek, tetapi juga terjadi pada usaha perasuransian.

Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud disini adalah suatu sifat “tidak kekal” yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat; sehingga dengan demikian keadaan termaksud tidak akan pernah memberikan rasa pasti.10
Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti tadi, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara
 Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan,Cet.3., PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.2.
9 Ibid.
10 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Op.Cit, hal.2.
menghindari, atau melimpahkannya kepada piha-pihak lain diluar dirinya sendiri.11
    Terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, makin banyak usaha yang tidak dapat meneruskan usaha nya termasuk memenuhi kewajiban nya pada kreditor. Maka diperlukan aturan hukum yang jelas dan sempurna yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan. International Monetary Fund (IMF) mendesak agar pemerintah RI segera mengganti atau merubah peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillisement Voerordering (FV) sebagai sarana agar utang-utang pengusaha di Indonesia dapat segera diselesaikan.12 Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran (surseance) lazimnya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut Debitor (sekarang melalui Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 disebut Debitor) dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut Kreditor/Kreditor. Dalam peraturan lama (baca: FV), para kreditor yang memegang jaminan berhak menjual jaminan tanpa terpengaruh walaupun debitor dinyatakan pailit.13 Dengan perkataan lain, antara Debitor dan Kreditor terjadi perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang tersebut, lahirlah suatu perikatan di antara pihak. Dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban dari Debitor adalah mengembalikan
11 Ibid, Hal.3.
12 Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (1998), cet.1, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 1 Retno Wulan Sutantio, “Pengadilan  Niaga, Kurator, dan Hakim Pengawas, Tugas, dan Wewenang” , makalah pada seminar Perlindungan Debitor dan Kreditor dalam Kepailitan, UNPAD, 17 Okt. 1998, hal. 1 
utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut lancar sesuai dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitor mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut. Dengan kata lain Debitor berhenti membayar utangnya. Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena :
1    Tidak mampu membayar;
2    Tidak mau membayar.

Kedua penyebab tersebut tentu sama saja yaitu menimbulkan kerugian bagi Kreditor yang  bersangkutan.Di pihak lain, Debitor akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan langkah-langkah selanjutnya terutama dalam hubungan dengan masalah keuangan. Untuk mengatasi masalah berhenti membayarnya Debitor banyak cara yang dapat dilakukan, dari mulai cara yang sesuai hukum sampai dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum. Akan tetapi karena indonesia merupakan negara hukum, segala permasalahan harus dapat diselesaikan melalui jalur-jalur hukum. Salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang dengan jalur hukum antara lain melalui perdamaian, alternatif menyelesaikan sengketa (alternatif dispute resolution/ADR), penundaan kewajiban membayar utang dan kepailitan.

Melalui penundaan kewajiban pembayaran utang atau kepailitan diharapkan menjamin keamanan dan menjamin kepentingan para pihak yang bersangkutan. Hal itu disebabkan melalui kedua lembaga hukum tersebut akan terlibat instansi dan personil yang mengemban tugas resmi dari pemerintah.
Instansi atau lembaga dimaksud misalnya Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas dan kurator. Hak dan kewajiban, tugas dan wewenang instansi dan personil yang terlibat dalam penyelesaian utang piutang melalui penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan tersebut harus diatur dalam pertauran perundang-undangan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan yang bersangkutan. Demikian pula mengenai hak dan kewajiban Debitor dan Kreditor secara seimbang seyogianya mendapat pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Berkaitan dengan hal yang diutarakan di atas maka diharapkan di Indonesia terdapat peraturan perundang¬undangan yang memenuhi kebutuhan tersebut, disamping juga memenuhi perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan dunia usaha nasional, regional maupun global. Untuk memilki peraturan peraturan demikian tentu tidak mudah, dan memerlukan waktu yang tidak sebentar.14
Kepailitan merupakan sitaan umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor.15 Menurut Sri Redjeki Hartono16 “Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar”

Dalam blacks law dictionary, kepailitan dapat didefinisikan yaitu: “Bankrupt: the state of condition of a person who is unable to pay its debt as
14 H.Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2006, hal.1.  Fred G. Tumbuan ”Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang”, Program Magister FH UI, 1999/2000, hal. 1

16 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, MandarMaju, 1999, bandung, hal. 16
they are or become due”.17 Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut pada kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy)18.
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling dan besar peranannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan peranannya maka bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan lainnya. Adapun pemberian kredit itu dilakukan, baik dengan modal sendiri, dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral19.

Dalam pengertian seperti diatas maka kita melihat bahwa bank menjalankan perniagaan dana (uang). Jadi, tegasnya bank sangat erat kaitannya 17 Black’s Law Dictionary, 6th edition, West Publishing, 1990, hal.147  Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassarie (ed.), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat pengkajianHukum, Jakarta, 2005, hal.55-56.
19 O.P Simorangkir, Kamus perbankan, Cetakan kedua, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal.33.
dengan kegiatan peredaran uang, dalam rangka melancarkan seluruh aktivitas keuangan masyarakat. Dengan demikian, bank berfungsi sebagai :
     a.    Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efesien; Bank menjadi tempat untuk penitipan dan penyimpanan uang yang dalam praktiknya sebagai tanda penitipan dan penyimpanan uang tersebut, maka penitip dan penyimpan diberikan selembar kertas tanda bukti. Sedangkan dalam fungsinya sebagai penyalur dana, maka bank memberikan kredit atau membelikannya ke dalam bentuk bentuk surat-surat berharga.
     b.    Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang; Bank bertindak sebagai penghubung antara nasabah yang satu dan nasabah yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak secra langsung melakukan pembayaran, tetapi cukup memrintahkan kepada bank untuk menyelesaikannya.20 Asuransi juga menghimpun dana dari masyarakat untuk mengatasi

kerugian-kerugian yang tidak tentu. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang masih membuka peluang untuk memailitkan Perusahaan Asuransi. Hanya yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pailit terhadap Perusahaan Asuransi adalah Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat 5 UU 37 Tahun 2004).
 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 2006, hal.107.

Ada perkembangan pengaturan mengenai kepailitan terhadap perusahaan asuransi, khususnya mengenai "legal standing" pemohon pailit perusahaan asuransi. Pada waktu berlakunya Peraturan Kepailitan (faillesement ordonansi) dan juga setelah berlakunya UU 4 Tahun 1998, perusahaan asuransi diperlakukan sama dengan perusahaan privat lainnya. yang berarti perusahaan asuransi dapat diajukan permohonan pailit oleh kreditor siapapun maupun debitor sendiri. pada saat berlakunya peraturan ini, banyak perusahaan asuransi besar yang dinyatakan pailit oleh pengadilan atas permohonan nasabah asuransi maupun pihak lain, misalnya asuransi Wataka (Pengadilan Niaga pailit, di kasasi dibatalkan), asuransi Manulife (Pengadilan Niaga pailit, di kasasi dibatalkan), asuransi Prudential (di Pengadilan Niaga pailit, kemudian di Kasasi di batalkan).

Pada pertengahan tahun 1999 untuk pertama kalinya sebuah perusahaan asuransi dimohon untuk dinyatakan pailit oleh para Kreditornya sejak adanya Pengadilan Niaga yang didirikan berdasarkan Undang-undang kepailitan Nomor 4 Tahun 1998. Kejadian yang membawa pengaruh buruk bagi tingkat kepercayaan masyarkat terhadap manfaat Perusahaan Asuransi PT Wataka General insurance. Perusahaan asuransi tersebut digugat pailit karena dinyatakan tidak sanggup membayar utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sebagai akibat surety bond yang telah diterbitkannya tidak dapat dicairkan pada waktunya. Walaupun pada akhirnya PT.Wataka General Insurance tersebut tidak dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung. Namun kejadian tersebut membawa dampak terhadap kepercayaan masyarakat pada keberlangsungan industri asuransi.

Kontroversi putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.10/pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst, tertanggal 13 juni 2002 terhadap perusahaan asuransi PT.Asuransi jiwa Manulife (PT.AJMI) telah banyak memicu reaksi keras, diantaranya karena putusan pailit tersebut dijatuhkan terhadap suatu perusahaan yang masih solvent (dinyatakan sehat dan memiliki C.A.R di atas rata-rata/adanya kesanggupan membayar utang), dinyatakan pailit oleh pengadilan hanya didasarkan bahwa perusahaan tersebut tidak mampu membayar kewajibannya kepada salah satu kreditor.
PT.AJMI adalah suatu perusahaan asuransi yang didirikan oleh Manulife Financial Corporation (Manulife) dari Kanada dengan saham 51 %,Dharmala Sakti Sejahtera,TBK. Dengan saham 40% dan International Finance Corporation (IFC) dengan saham sebesar 9%. Manulife adalah perusahaan publik yang besar di Kanada, sedangkan IFC adalah suatu perusahaan milik dana pensiun karyawan World Bank.

Permohonan kepailitan PT.AJMI diajukan oleh PT.Dharmala Sakti Sejahtera.TBK (PT.DSS), dengan alasan tidak membayar deviden keuntungan perusahaan tahun 1998. PT.AJMI dimohonkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk dinyatakan pailit oleh PT.DSS yang pada tahun 1998 memiliki 40% saham PT.AJMI, sesudah PT.DSS pailit, saham PT.AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh Manulife.21 Alasan PT.DSS mempailitkan
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverordening juncto
PT.AJMI adalah dengan dinyatakan PT.AJMI pailit, segala sesuatu yang menyangkut pengurusan harta kekayaan PT.DSS (sebagai debitor pailit) sepenuhnya dilakukan oleh Kurator.

Argumen PT.DSS untuk mempailitkan PT.AJMI adalah sesuai Pasal X akta perjanjian usaha patungan, diantara pemegang saham, dalam mendirikan PT.AJMI. telah disepakati bahwa ‘sejumlah perusahaan memperoleh laba dan telah mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan perusahaan yang manapun (sebagaimana dapat dilihat dari laporan keuangan yang telah diaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), semua pihak akan mengatur agar perusahaan (PT.AJMI) membayar deviden sedikitnya sama dengan 30 persen dari jumlah surplus yang melebihi Rp 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah) secepat mungkin dianggap praktis setelah laporan demikian dibuat”.22

Dalam kasus sesudah PT.AJMI, Perusahaan asuransi PT Prudential Life Assurance digugat oleh tiga pemegang polis yang menilai Prudential tidak membayar utang yang timbul dari klaim. Permohonan pailit didaftarkan di Kepaniteraan PN.Niaga pada PN.Jakarta Pusat 6 Juli 2004.

Dalam kasus sebelumnya, Prudential digugat oleh mantan agennya di Malaysia, Lee Boon Siong, karena tidak membayar utang sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam milyar), Gugatan Lee Boon Siong dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mempailitkan perusahaan asuransi itu pada 23 April 2004. Namun akhirnya, dibatalkan oleh Mahkamah Agung
Undang-undang No.4 Tahun 1998, Grafity, Jakarta, 2002, hal.75.  Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi, PTAlumni,Bandung,2007, hal.2-3.
dalam putusannya pada tanggal 7 juni 2004. Pada saat ini kasus tersebut sudah sepenuhnya selesai, termasuk perselisihan kontrak.

Dalam kasus ini, gugatan pailit diajukan oleh tiga pemegang polis produk asuransi jiwa PRUlinl, yaitu Ng Sok Hia, Dick Sigmund, dan Davin Sigmund, warga Pematang Siantar, Sumatera Utara. Mereka mengajukan klaim karena Ng Sek Ngie, suami Ng Sok Hia sekaligus ayah dari Dick Sigmund dan David Sigmund yang menjadi tertanggung tambahan, meninggal dunia. Namun, Prudential hanya membayar sebagian. Sampai juni 2004 terdapat utang Prudential yang jatuh tempo dan dapat ditagih sekitar Rp 16.000.000,00 (enam belas juta). Adapun jika dihitung manfaat asuransi di masa mendatang yang jatuh tempo seketika, utang Prudential menjadi seketika Rp 394.000.000,00 (tiga ratus sembilanpuluh empat juta).23
Dalam pemeriksaan tingkat terakhir di Mahkamah Agung RI, ternyata majelis hakim Mahkamah Agung RI, Senin 7 Juni 2004 membatalkan keputusan pailit PT Prudential Life Assurance. Di Indonesia sejak tahun 1998, suatu perkara permohonan pernyataan pailit berdasarkan UU Kepailitan baik Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan 1998 maupun UU Kepailitan 2004, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri merupakan dan terdapat di dan dalam lingkungan lembaga Peradilan Umum, sebagai slah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
23 Ibid, hal.79.

Pengadilan Niaga yang dibentuk dan dioperasikan berdasarkan UU Kepailitan baik UU Kepailitan 1998 maupun UU Kepailitan 2004 merupakan suatu bentuk khusus (differensiasi) dari peradilan umum atau merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum.

Namun demikian setelah berlakunya UU 37 tahun 2004, perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang bisa dipailitkan akan tetapi yang berwenang mengajukan permohonan pailit hanya Menteri keuangan. mengapa perusahaan asuransi ini hanya oleh Menteri keuangan saja yang bisa mengajukan permohonan pailit?. inilah yang menarik untuk diteliti, apa ratio legis (ratio pengaturan) sampai muncul ketentuan Pasal 2 ayat 5 UU 37 tahun 2004.

Kedudukan para nasabah asuransi. khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap para nasabah terutama berkaitan dengan klaim mereka, dapat diperhatikan dari perjanjian asuransi. Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Disamping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada pengertian dasar dari perjanjian

Apakah Anda memerlukan Tesis Hukum Pailit Asuransi ini lengkap dari Bab 1 sampai akhir untuk dijadikan contoh pembuatan Tesis Hukum Anda?

Jika iya, kami akan mengirimkan seluruh filenya yang berformat Ms.Word yang bisa Anda copy paste melalui email Anda. Silakan hubungi kami, dan jangan lupa untuk membaca halaman cara pemesanan di menu atas.

Tesis Hukum Magister S2

Empat Alasan kenapa Anda harus pesan Tesis Hukum ini:

  1. Anda tidak perlu mem-photo copy dari perpustakaan
  2. File dalam bentuk Ms. Word bisa langsung Anda copy paste
  3. Lebih hemat dari pada mem-photo copy
  4. Langsung dikirim ke email Anda atau bisa dalam bentuk CD
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Tesis Hukum Pailit Asuransi